Kenangan Ibu Akan Sosoknya

          Kenangan Ibu Akan Sosoknya
                   Oleh: Siti Rodi’ah

Hari ini adalah hari Ibu. Saya sendiri juga sebagai seorang ibu, tentu patut untuk merayakannya. Tetapi, merayakan yang seperti apa? Hmm…mungkin sebatas meluangkan waktu sejenak untuk menulis tentang Ibuku sendiri. Ya, mungkin cara ini lebih bersahabat untuk saya. Karena, anak saya masih kecil. Dia belum tahu kalau hari ini adalah hari Ibu. Jadi, saya belum mendapatkan ucapan selamat dari anak saya. Memang, idealnya hari ini saya mendapatkan ucapan dari anak saya. Baiklah, mungkin suatu saat nanti saya akan mendapatkan ucapan tersebut. 

Di hari Ibu ini saya akan bercerita tentang perjuangan seorang Ibu terhadap kehidupanku. Melalui tulisan, orang lain yang membaca akan mengetahui akan sosok Ibuku. Saya sendiri belum mengucapkan selamat untuk Ibuku. Karena, di rumah belum ada kebiasaan ini. Ya, semoga suatu saat nanti kebiasaan ini muncul. Maafkan diri ini ya Bu, belum bisa berucap. Tetapi, saya hanya bisa menuliskan saja akan sosok Ibu dalam kehidupanku.

Berkaitan dengan Ibu, sungguh banyak sekali pengorbanan yang diberikan kepadaku. Saya ada di dunia ini, tentu ada peran Ibu yang sangat essensial. Tanpanya, mungkin saya tidak terlahir di dunia. Sejuta kasih sayang pun diberikan kepada anak-anaknya. Mulai dari pemberian asupan nutrisi yang terbaik untuk saya dan adik-adik, fasilitas pendidikan formal dan non formal, dan pola asuh kepada anak-anaknya. Untuk menunjang fasilitas tersebut, Ibu harus menyedikitkan tidur. Saya teringat, saat saya masih usia Sekolah Dasar, Ibu setiap hari menjahit baju dari setelah sholat I’sya hingga sekitar jam 11 an. Saat itu, perekonomian keluarga belum stabil. Sehingga, Ibu harus membantu Bapak mencari nafkah. Dan setiap pagi, makanan sudah siap di meja. Pakaian seluruh anggota keluarga juga sudah di jemur. Ntah, Ibu sudah bangun dari jam berapa. Makanan harus siap di pagi hari, karena Bapak dan Ibu bekerja. Sedangkan saya dan adik juga sekolah. Bapak bekerja jualan kerupuk di pasar. Beliau berangkat sebelum subuh, sedangkan Ibuku bekerja di konveksi baju yang harus berangkat jam 7 pagi. Sedangkan saya dan adik berangkat sekolah dari jam setengah tujuh. Sehingga, Ibu selalu memastikan masakan sudah matang sebelum jam setengah tujuh.

Perjuangan Ibu sangat tampak saat saya memasuki bangku Madrasah Aliyah, adik yang kedua Sekolah di tingkat SMP, sedangkan adik yang ketiga masih berumur dua tahun. Saat itu, Ibu harus rela untuk berhenti bekerja. Karena adik saya yang terakhir tidak ada yang menjaga. Sedangkan Bapak tidak lagi jualan kerupuk, tetapi beralih profesi menjadi buruh di pabrik kerupuk. Untuk penghasilan, tentu tidak sebanyak saat jualan kerupuk. Alasan Bapak untuk berganti profesi adalah saran dari Ibu. Saat itu, Bapak sering dirugikan oleh pembeli. Mulai dari hutang yang tidak dibayar-bayar atau kerupuk yang dititipkan di kios banyak yang tidak laku. Alasan inilah yang menjadi dasar Ibu untuk mengarahkan Bapak untuk mencari profesi lain. Dan Ibuku tidak lagi bekerja, karena alasan keberadaan adik saya yang ketiga. Tetapi, untuk terpenuhi kebutuhan sehari-hari Ibu mencoba menjahit baju di rumah yang diambil dari konveksi. Tentu, Ibu tidak berani mengambil banyak. Ya, disesuaikan dengan kondisi rumah yang repot.

Saat Ibu mencoba menjahit di rumah, mesin jahit tidak sebaik di konveksi. Selain itu, kondisi penglihatan Ibu yang sudah berkurang pasca melahirkan, membuat hasil jahitan kurang baik. Saya yang sering disuruh mengantar jahitan di konveksian, selalu mendengar kata-kata yang kurang enak didengar oleh telinga terhadap hasil jahitan Ibu dari pihak konveksi. Dan berkali-kali hasil jahitan Ibu dikembalikan untuk diperbaiki. Hal ini berulang-ulang hingga Ibu mulai jenuh untuk menjahit. Hingga pada akhirnya, Ibu terpaksa tidak menjahit lagi. Antara bekerja di konveksi dengan menjahit baju di rumah, lebih mudah bekerja di konveksi. Walaupun medan pekerjaanya sama, yaitu konveksi baju, tetapi bekerja di konveksi tidak terpaku pada menjahit baju saja. Ada banyak pekerjaan yang bisa dilakukan jika tidak begitu ahli dalam menjahit berbagai model baju. Seperti, menyetrika, memotong kain, mengelompokkan potongan kain, dan lain-lain. Tetapi bekerja di konveksian harus sehari penuh di sana. Yaitu, antara jam 7 pagi hingga jam setengah 5 sore. Tentu, hal ini tidak mungkin dilakukan oleh beliau. Karena adik saya tidak ada yang merawat di rumah.
Pemasukan keluarga hanya mengandalkan penghasilan Bapak saja. Padahal kebutuhan sehari-hari cukup banyak. Saya dan adik sering tidak mendapatkan uang saku saat sekolah. Tetapi, saya dan adik diusahakan untuk sarapan sebelum berangkat ke sekolah. Walaupun hanya sarapan sayur blendrang dengan lauk kerupuk. Sampai saya menangis dengan keadaan itu. Tetapi, Ibu selalu memberikan penguatan mental kepada saya dan adik untuk terus sekolah. Ibu selalu menguatkan kami dengan kedua mata yang berkaca-kaca. 

Saya teringat, saat kelas dua MA ada seorang guru perempuan yang sangat senang dengan saya. Hingga saya disuruh menemani beliau di rumah. Karena suaminya bekerja di pertambangan batu bara. Di rumah hanya bersama kedua buah hatinya yang masih kecil. Beliau menawarkan kepada saya, jika saya berkenan maka segala kebutuhan sekolah akan ditanggung oleh beliau. Saya pun hanya terdiam, dan meminta waktu untuk bermusyawarah kepada kedua orang tua. Saat saya memberitahukan hal tersebut kepada Ibu, spontan beliau menolak. Karena saya adalah anaknya dan masih dalam tanggung jawabnya. Walaupun keadaan ekonomi masih tidak stabil. Tetapi, beliau tidak berkenan jika anak-anaknya diasuh oleh orang lain. Walaupun orang tersebut adalah guru yang memberikan pengarahan baik.

Bapak memiliki sawah dan halaman rumah yang cukup luas. Ibu menanam beberapa tanaman sayuran. Hal ini dilakukan untuk mengurangi pengeluaran. Ibu yang begitu cerdas dalam mengelola keuangan, penghasilan Bapak yang sedikit mampu untuk membeli kebutuhan makan, uang saku dan kebutuhan sekolah. Walaupun uang saku yang saya dapatkan tidak tiap hari. Yang terpenting bagi Ibu adalah kehidupan dapat berjalan. Penghasilan sawah Bapak digunakan untuk biaya sekolah seperti biaya SPP, buku dan daftar ulang yang dibayarkan setelah musim panen. 

Fase berikutnya, saya mulai memasuki bangku kuliah, adik sekolah di STM Sore, dan adik saya yang terakhir memasuki jenjang sekolah TK. Fase ini merupakan puncak dari perjuangan dari seorang Ibu. Dimana, beliau tetap memilih tidak bekerja walaupun pemasukan tidak sebanding dengan pemasukan. Walaupun beliau hanya lah lulusan SD, tetapi beliau menginginkan anak-anaknya menjadi sarjana. Belum lagi, tekanan dari orang-orang sekitar yang memandang remeh terhadap keluarga saya. Ibu pun hampir tak dianggap oleh saudara, karena beliau terlalu sering meminta bantuan kepada mereka. Tetapi, impian Ibu pun tak goyah akan suatu saat nanti anak-anaknya menjadi seorang sarjana. Bahkan Bapak sendiri pesimis akan impian Ibu. Tidak ada yang mendukung Ibu. Motivasi dan harapan dibangun sendiri oleh beliau.
Ibu memberikan saya nasehat bahwa beliau tidak bisa penuh membiayai kuliah. Sehingga, saya diarahkan untuk bekerja sambil kuliah. Tetapi, kuliah di STAIN Tulungagung yang sekarang menjadi UIN Satu sungguh sulit untuk mencari waktu longgar. Alkahmdulillah saya mendapatkan kerjaan sampingan di awal-awal perkuliahan. Ya, saya menjadi pekerja rumah tangga, seperti mengepel lantai, mencuci baju, menyetrika, dan mencuci peralatan rumah tangga. Aktivitas itu bisa saya lakukan sembari kuliah di STAIN. Dimana gaji yang saya peroleh dapat saya gunakan untuk mencukupi kebutuhan saya untuk kuliah, seperti membeli buku, iuran kelas, ngeprin, foto copy bahkan membantu Ibu untuk meringankan membayar SPP per-semester.

Saat saya dan adik yang kedua mulai jenuh dengan kondisi perekoniman rumah yang tidak stabil, hingga memutuskan ingin tidak melanjutkan sekolah, Ibu selalu memberikan motivasi kepada kami. Doa malam beliau selalu dipanjatkan kepada keluarga termasuk saya dan adik-adik. Saya sering mendengar akan rintihan lirih dari Ibu saat bermunajab di tengah malam. Bagiku Ibu sungguh luar biasa terhadap keluarga. Disaat Bapak yang psimis akan beban rumah tangganya, tetapi Ibu selalu tegar dan optimis dapat melalui fase kehidupan.    

Saya teringat saat adik saya dipanggil oleh pihak sekolah untuk melunasi tanggungan sekolah, Ibu membawa sertifikat tanah untuk dijadikan jaminan. Hal dilakukan oleh beliau agar anaknya tetap bisa sekolah. Pihak sekolah pun memaklumi kondisi Ibu dan memperbolehkan adik untuk mengikuti ujian. Saat itu, yang menjadi andalan pemasukan untuk biaya sekolah adalah hasil panen di sawah Bapak. Sedangkan penghasilan Bapak hanya cukup untuk kebutuhan makan dan beberap kebutuhan rumah tangga lain. 

Saat masa sulit ini, Ibu mencoba bertahan. Di lubuk hatinya yang paling dalam, beliau ingin bekerja. Tetapi, adik saya yang terakhir masih sekolah TK yang tiap hari harus antar jemput sekolah. Disisi lain kebutuhan keluarga semakin tak terkendali saja. Menjadi posisi Ibu memang serba salah. Ibu tidak bisa memaksa Bapak untuk mencari uang tambahan lagi. 

Seiring berjalannya Sang Waktu, saya pun dipertemukan jodoh saat semester 7. Dan di awal semester 7 saya menikah. Pertemuan dengan suami ini adalah buah dari doa-doa Ibu yang dipanjatkan tiap selesai sholat. Pernah Ibu berkata kepada saya bahwa beliau mengharapkan saya bisa menikah sebelum wisuda. Perkataan Ibu adalah doa. Dan suami yang dipilih oleh Allah adalah ekspresi dari doa Ibu. Bahwasannya Ibu menginginkan menantu yang memiliki pekerjaan mapan, baik, dan sudah berumur agar dapat membimbing saya. Dan itu semua ada dalam diri suami. Alkhamdulillah 
Banyak yang tidak suka akan pernikahan ini. Hal ini dikarenakan saya tidak akan bisa menjadi orang sukses dan hanya menjadi Ibu Rumah Tangga yang bergelar Sarjana. Selain itu, suami yang bekerja di pabrik, oleh persepsi mereka bahwa gajinya tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Baik tetangga maupun saudara seakan menjadi hakim saja. Tetapi, Ibu mencoba bersabar akan cemoohan orang. Ibu tak pernah langsung membicarakan hal itu kepada saya. Hal itu Ibu rahasiakan kepada saya. 

Saat suami mulai membangun rumah, Ibu baru mengatakan cuitan orang kepada saya. Itulah Ibu yang sangat tahu akan karakterku. Jika saat itu Ibu langsung mengatakan kepadaku, mungkin saya akan jengkel kepada orang itu, walaupun itu saudara Ibu sendiri. Dan jika saya tidak suka kepada orang lain, sungguh raut wajah saya tidak bisa ditutupi. Inilah karakter yang belum bisa saya ubah saat itu. 

Dalam kehidupan rumah tanggaku, Ibu lah yang menjadi motivator ku. Setiap saya ada permasalahan, beliau selalu memberikan ajaran-ajaran yang baik dan membangun. Seperti saya yang baru lulus sarjana dan mempunyai anak, Ibu mengarahkan saya untuk fokus untuk mengasuh anak dulu. Walaupun banyak kicauan dari orang-orang yang tak enak untuk didengar, Ibu mencoba meredakan guncangan batin saya. 

Banyak ajaran-ajaran dari Ibu yang selalu diberikan kepada saya, walaupun saya sudah menikah. Kata Ibu bahwa seorang istri harus mandiri, kuat, menurut dengan suami. Dan dalam hubungan rumah tangga harus ada yang mengalah, walaupun istri yang selalu dalam posisi mengalah. Nilai-nilai ini mengantarkan pada kemaslahatan masa datang. Yaitu keutuhan rumah tangga yang membawa kedamaina bagi perkembangan anak. Posisi mengalah tidak mengarahkan seorang istri pada kekalahan, tetapi pintu pertama menuju kemenangan. Dan ajaran ini telah saya saksikan akan kebenaran dari ucapan Ibu. 

Ibu selalu menjadi teman yang nyaman bagi anak-anaknya. Jika saya ada masalah, Ibu selalu memberikan solusi yang terbaik. Kalaupun masalah rumah tangga, Ibu dapat bersikap secara adil. Walaupun saya adalah anak beliau, tetapi tak pernah beliau mendukungku untuk bertindak egois. Beliau memberikan arahan yang mengantarkan pada kedamaian rumah tangga. Walaupun solusi dari Ibu sangat berat saya lakukan. Karena bertentangan dengan ideologi saya. Tetapi, motivasi dan doa Ibu selalu diberikan kepada saya. Bahkan adik saya juga merasakan kenyamanan saat berdiskusi dengan Ibu. Setiap ada permasalahan, adik saya mendatangi Ibu dan meminta solusi. Tentu, solusi tersebut memberikan arahan baginya untuk menentukan apa yang dilakukan selanjutnya. Walauapun adik saya laki-laki, tetapi dia lebih nyaman curhat dengan Ibu.

Suatu ketika Ibu berkata kepada saya bahwa setiap selesai sholat beliau selalu mengirimkan hadiah surat Al-Fatihah kepada ketiga anaknya. Betapa hati ini terenyuh dan tertampar. Begitu luasnya kasih sayang Ibu kepada anak-anaknya. Tak memandang akan status anaknya sudah menikah atau belum. Bahkan saat saya sakit pun beliau selalu mengontrol kesehatanku. Setiap hari beliau selalu menelfon akan keaadanku hingga saya sudah tidak ada lagi keluhan baru beliau berhenti menelfonku. Sungguh mulia sekali Ibuku.

Alkhamdulillah harapan Ibu sudah terwujud. Saya seorang Magister, dan adik saya kuliah Magister yang hampir selesai. Saya yakin, ini juga berkat doa dan dukungan dari Ibu. Walaupun saya seorang Magister, beliau tidak menuntut saya untuk mendapatkan pekerjaan yang mapan. Beliau memberikan ajaran yang berharga bahwa dalam sebuah hubungan rumah tangga, rejeki sudah diukur kuantitasnya oleh Allah. Kalaupun kita diberikah jatah satu gelas, walaupun istri dan suami sama-sama bekerja, tetap rejeki yang diperoleh sama, tidak ada tambahan. Bisa jadi tambahan itu dihabiskan untuk hal lain, seperti orang tua atau anak sakit, atau saudara ada yang kesusahan. Hal ini telah terbukti kebenarannya. Saat ini suami menjadi seorang supervisior. Tentu, gaji yang didapatkan lebih banyak dari posisi sebelumnya. Tetapi, kedua orang tuanya sakit-sakitan, sehingga hal ini menjadi beban dan tanggung jawabnya sebagai anak laki-laki. Ya, rejeki yang sudah ditetapkan oleh Allah sebelumnya walaupun secara kuantitas bertambah, tetapi tambahan tersebut pada akhirnya habis untuk hal lain.

Ajaran-ajaran Ibu belum semua bisa saya wujudkan hingga saat ini. Bagi saya sangat dilakukan, tetapi Ibu sudah memberikan tauladan. Artinya, apa yang diajarkan Ibu sudah pernah dilakukan sebelumnya. Semoga Ibu selalu diberikan kesehatan dan keselamatan oleh Allah. Aamiin…. Ibu adalah motivatorku dan salah satu penyemangat hidupku.  

   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Pembelajaran Daring Berbantuan LKS Berbasis Tugas Proyek Dalam Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis"

Kolaborasi dengan Suami Saat Weekend

7 Hari di Tulungagung