"Mendidik Anak Melalui Pendekatan Keteladanan"

Mendidik Anak Melalui Pendekatan                Keteladanan
                  Oleh: Siti Rodi’ah

Saya memiliki seorang anak perempuan yang masih duduk dibangku Sekolah Taman Kanak-Kanak (TK). Banyak pengalaman yang saya dapatkan saat mendampingi anak dalam masa-masa pertumbuhan dan perkembangannya. Tentunya tantangan ini silih berganti. Hingga terkadang saya harus lepas kendali terhadap diri ini dalam mendampingi Si Buah hati pada masa pertumbuhan dan perkembangannya. Banyak pernak-pernik kehidupan saat bersama Si Buah hati. Hingga mendatangkan rasa bangga, senang, tentram, bahagia dan terkadang marah, kesal, kecewa. Semua rasa itu menyatu dalam hidup ini. Tetapi, proses kehidupan bersamanya sungguh saya nikmati. 

Ada banyak cara atau strategi dalam mendidik anak. Baik secara humanis, paksaan, hukuman, atau keteladanan. Berbagai strategi tersebut bisa diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi serta kadar kesanggupan dari orang tua. Tetapi saya lebih menekankan pada strategi humanis. Apakah mudah mendidik anak secara humanis? Menurut saya berat, karena kita harus menahan ego, amarah, serta tenaga dan pikiran untuk mengontrol hati yang bertentangan dengan idealitas kita. Dan kita tahu diusia 3-6 tahun, anak memiliki ego yang tinggi. Tentulah mendidik anak di usia tersebut haruslah membutuhkan kesabaran yang ekstra. 

Saya mencoba berbagi pengalaman dalam mendidik anak. Mungkin pengalaman ini bisa menambah wawasan bagi orang tua yang lain. Walaupun setiap anak berbeda karakternya, tentunya cara mendidiknya juga berbeda pula. Tetapi tidak ada salahnya cara ini dapat dicoba oleh orang tua lain.
Salah satu cara dalam mendidik anak adalah melalui pendekatan keteladanan. Saya memiliki sedikit pengalaman tentang pendekatan keteladanan ini. Dan tidak dipungkiri orang tua lain juga banyak yang sudah mempraktekan di rumah. Ketika saya menginginkan anak untuk terampil menggunakan jilbab, maka saya sebagai salah satu figur yang dilihat setiap hari juga harus demikian. Saya tidak menyuruh atau memaksa anak untuk menggunakan jilbab jika keluar rumah. Tetapi saat saya sendiri mempraktekkan terhadap diri ini, lambat laun anak mulai mengikuti kebiasaan saya. Bahkan sekarang dia malu jika keluar rumah tidak menggunakan kerudung. Saya bangga terhadapnya atas pencapaiannya sekarang. Saya tidak mengajarinya secara langsung tentang  kewajiban seorang perempuan untuk berkerudung. Tetapi melalui pendekatan keteladanan dan pembicaraan secara tak langsung ini menjadikan dia mengikuti kebiasaan saya. Pernah dia bertanya kepada saya bahwa mengapa Ibu harus menggunakan kerudung saat keluar rumah. Sontak saya menjawab “malu” jika keluar rumah tidak memakai kerudung. Ternyata kata tersebut mengena pada memorinya. Sehingga jika saya kembali bertanya kepadanya perihal ini, tentu jawabannya sama. Bahkan dia akan marah jika saya melarangnya untuk tidak menggunakan kerudung saat keluar rumah. Tetapi, jika hanya sebatas bermain ke tetangga, saya memberikan arahan untuk tidak menggunakan kerudung. 
Proses menuju kebiasaan dalam diri anak relatif lama. Butuh waktu untuk bisa diterima oleh anak. Sikap sabar dala diri orang tua sangat diperlukan. Karena sikap memaksa pada anak tidak baik untuk diterapkan. Bahkan tujuan atau goal yang ingin dicapai tak akan dapat terwujud.

Saat saya masih menjadi mahasiswa pascasarjana, tentunya hari-hari diwarnai dengan tugas. Bahkan saya sering berinteraksi dengan buku dan laptop. Setiap hari anak melihat saya belajar dan membaca buku. Lambat laun, dia tertarik untuk belajar membaca. Di dinding rumah sudah saya tempeli gambar huruf abjad. Sehingga kapanpun dia bisa melihat dan mengingat huruf abjad. Saya tidak terlalu intensif dalam mengajarinya untuk menulis maupun membaca. Karena di Sekolah sudah diperkenalkan huruf abjad. Selain itu dia masih berada pada masa bermain. Jadi saya tidak terlalu intensif untuk mengajarinya membaca atau menulis. Saya hanya memberikan pengenalan saja. 

Saat saya pergi ke toko Buku bersama suami dan anak saya, terlihat muncul rasa tertarik pada anak saya terhadap buku. Saya yang masih memilih-milih buku, dia menggandeng tanganku sembari menunjukkan benda yang ingin dia beli. Ternyata buku cerita. Saya lihat tampilannya bagus dengan dibungkus plastik yang sangat rapat. Hingga saya tak bisa membaca isi bukunya. Tapi dari membaca cover depan dan belakang sudah menunjukkan isi kandungan buku tersebut yang menyajikan bebarapa judul cerita. Karena anakku sudah tertarik, saya pun tak kuasa untuk menolaknya. Akhirnya buku tersebut masuk pada keranjang merah. Kemudian saya mencari buku yang sesuai dengan judul tesis yang saya ambil. Karena keranjang merah sudah terisi barang-barang yang kami inginkan, langkah kaki kami menuju kasir untuk membayar beberapa buku-buku tersebut.

Sejak anak saya mempunyai buku cerita, dia menjadi termotivasi untuk belajar membaca. Saya mencoba membelikannya buku Praktis Membaca yang dimulai dari level 1. Lambat laun, dia sudah mencapai level 5. Dan akhirnya dia bisa lancar membaca. Itupun saya tidak intensif mengajarinya membaca, karena saya harus fokus dengan tesis. Disamping saya belajar dan mengerjakan tesis, saya membimbing anak untuk belajar membaca. Terkadang jika Ayahnya pulang, beliau yang mengajarinya. Ketika saya sedang membaca buku, diapun juga mengikuti aktivitas saya dan duduk berdampingan pada satu kursi dengan melakukan aktivitas yang sama pula. Sehingga dia sudah lancar membaca dan senang untuk membaca cerita di majalah maupun buku cerita.

Ini adalah secuplik cerita saya. Walaupun masih ada lagi  beberapa pengalaman lain. Saya hanya memberikan dua contoh saja. Saya teringat oleh perkataan Pak Prim sebagai dosen pasca PGMI yang sedang mengisi acara pengabdian masyarakat di Madin Karanggandu Kec. Watulimo. Bahwa mendidik anak perlu diberikan contoh dulu. Terutama orang tua sebagai figur yang dilihat setiap harinya. Temtunya orang tua harus menjadi suri tauladan yang baik bagi anak-anaknya. Beliau pernah mendidik anaknya untuk sholat tahajjud. Langkahnya adalah memberikan keteladanan. Sebelum beliau memberikan pengertian atau ajakan untuk sholat, beliau mendirikan sholat tahajjud sembari membangunkan anaknya bahwa beliau ingin dilihat atau diketahui oleh anaknya jika beliau sedang melaksanakan sholat tahajjud. Walaupun anaknya belum berkenan sholat, tapi keteladanan adalah strategi beliau dalam mendidik anaknya untuk bisa menjalankan sholat tahajjud.
Saya bukan ahli agama atau psikologi anak. Tetapi sedikit pengalaman ini mungkin dapat menambah khasanah keilmuan pembaca. 

Poin yang dapat saya simpulkan adalah bahwa sebelum mendidik anak, sebaiknya pribadi kita terlebih dahulu yang perlu kita bina. Strategi keteladanan memberikan arahan kepada orang tua untuk mengelola pola hidup ini ke arah yang lebih baik. Karena strategi ini berorientasi pada pendidikan anak dengan tujuan mengarahkan anak menjadi pribadi yang baik. Agar dapat menjadi bekal di masa yang akan datang. 
 
     

Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Pembelajaran Daring Berbantuan LKS Berbasis Tugas Proyek Dalam Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis"

Kolaborasi dengan Suami Saat Weekend

7 Hari di Tulungagung