Tantangan Pembelajaran Matematika di Era Big Data
Tantangan Pembelajaran Matematika Di Era Big Data
Dunia pendidikan tak luput dari pernak-pernik suatu problem yang menyelimuti lini proses pendidikan. Permasalahan ekonomi nasional seakan menyudutkan outcome dari produk pendidikan. Sehingga sistem pendidikan di Negeri ini tak luput dari suatu perombakan. Salah satu perombakan yang tampak adalah perubahan kurikulum. Dimana perubahan tersebut membawa suatu permasalahan yang lumayan rumit. Khususnya guru sebagai pelaku implementasi sistem baru. Perubahan ini membawa beban yang mendalam terhadap guru. Terlebih jika guru sudah terlena pada zona amannya, hal ini memungkinkan terjadinya suatu penolakan terhadap sistem baru. Adaptasi baru adalah langkah strategis dari seorang guru yang perlu dilakukannya. Disamping itu, pemberian pelatihan dan berbagai bentuk scaffolding perlu diberikan kepada guru. Karena guru adalah manusia biasa dengan kemampuan yang terbatas. Guru bukanlah seorang dewa yang bisa mengerjakan banyak hal, misalnya mengimplementasikan sistem baru.
Salah satu pernak-pernik proses pendidikan adalah kegiatan pembelajaran. Seringkali metode pembelajaran yang dilakukan oleh guru menjadi perhatian para akademisi yang dituangkan pada sebuah karya ilmiah. Di dalamnya diuraikan masalah yang terjadi pada proses pembelajaran. Masalah yang terjadi cenderung mengarah pada metode yang digunakan oleh guru. Sedangkan metode yang digunakan cenderung mengarah pada teacher center. Dan masih banyak lagi permasalahan lainnya. Jika diuraikan satu persatu, mungkin tulisan ini akan terhimpun menjadi makalah. Hehehe….
Salah satu mata pelajaran wajib yang diajarkan di sekolah adalah matematika. Dimana pelajaran tersebut dianggap menakutkan oleh mayoritas siswa. Kita tahu materi matematika sangat sulit untuk dipahami. Karena bersifat abstrak dan kaku dengan aturan. Bahkan untuk menemukan jawaban yang benar dari suatu soal, kita harus mematuhi aturan yang berlaku, seperti penggunaan rumus, penyelesaian algoritma, pemahaman definisi. Proses yang dilalui oleh siswa memanglah panjang dalam menemukan suatu pengetahuan matematika. Motivasi diri adalah modal yang harus dimiliki oleh siswa untuk sabar dan tekun dalam melalui proses menemukan pengetahuan. Selain itu, faktor lingkungan juga mempengaruhi proses penemuan pengetahuan terhadap siswa. Faktor internal dan eksternal seperti sebuah keping mata uang logam yang tak terpisahkan.
Di era big data ini telah tersedia berbagai informasi. Melalui google search kita dapat menemukan berbagai informasi sesuai keinginan kita. Termasuk definisi, rumus matematika serta cara menyelesaikan soal matematika. Perkembangan teknologi yang begitu pesat ini memberikan warna baru terhadap dunia pendidikan, termasuk pembalajaran matematika. Dimana siswa dihadapkan pada suatu alat canggih yaitu sebuah mesin pencari informasi berupa aplikasi. Siswa dapat mencari rumus matematika, definisi, bahkan cara menyelesaikan soal matematika. Tentunya keberadaan teknologi sangat membantu siswa dalam memecahkan permasalahannya secara tepat dan cepat. Pilihan instan merupakan langkah strategis yang disukai oleh mayoritas peserta didik. Mereka tak lagi direpotkan untuk mengkonstruksi pengetahuan secara mandiri dan kemampuan berpikirnya, tetapi mereka dapat mengakses informasi secara cepat dan mudah. Tentunya banyak fitur yang disediakan di google. Jika mereka belum memahami materi, maka youtube adalah salah satu alternatif yang dapat diakses oleh kalangan siswa. Banyak pilihan tutorial yang dapat diakses oleh peserta didik. Tentunya hanya dengan melihat dan mendengarkan informasi yang disajikan oleh google menjadikan mereka tahu atau dapat mencontoh penyelesaian soal matematika. Pola belajar siswa cenderung meniru maupun menghafal dari suatu informasi. Tak heran ketika peserta didik diberikan jenis soal yang berbeda dengan contoh soal yang pernah dilihat atau diterangkan oleh guru, mereka seakan kebingungan untuk mencari solusi penyelesaiannya. Hal ini menjadikan proses belajar yang dijalani selama ini kurang bermakna pada dirinya.
Pembelajaran matematika dilandasi oleh filsafat konstruktivisme, sehingga untuk mempelajarinya, siswa harus melewati proses belajar yang panjang yaitu pencarian pengetahuan secara mandiri. Dari proses yang panjang tersebut, siswa akan menemukan definisi, rumus, dan alur algoritma penyelesaian. Tentunya, ini menandakan bahwa proses belajar matematika tidak dapat dilalui secara instan. Agar siswa mendapatkan pengalaman belajar secara bermakna. Akan tetapi mayoritas siswa lebih menyukai cara instan. Saya melihat hasil pengerjaan peserta didik ketika diberikan soal uraian. Kebanyakan mereka hanya menuliskan hasil daripada alur penyelesaian. Dan anak-anak lebih suka mengerjakan soal pilihan ganda atau soal uraian yang hanya menampilkan hasil.
Proses belajar secara instan jauh dari arah pembelajaran matematika yang semestinya. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi guru dan siswa itu sendiri. Keberadaan google search sangatlah membantu siswa dalam mengeksplorasi pengetahuannya. Tetapi jika mereka tidak pandai memanfaatkannya, maka akan menjerumuskan siswa ke dalam jurang kesesatan. Solusi guru untuk mengantisipasi peserta didik dalam menerapkan budaya instan adalah pengelolaan strategi pembelajaran yang mengedepankan proses belajar secara konstruktivisme atau guru dapat memberikan soal latihan berupa pengalaman siswa dalam kehidupan sehari-hari yang dikontekskan pada materi yang dikaji. Kemungkinan, pembuatan soal yang mengarah pada kebidupan siswa, tidak terdeteks pada google search. Karena soal tersebut adalah buatan guru dan belum tereksplor di medsos. Sehingga siswa akan mencoba mencari solusi penyelesaian secara mandiri atau kelompok. Yang terpenting dalam proses belajar adalah siswa dapat mengembangkan keterampilan berpikirnya.
Setuju sekali. Guru harus membuat soal yg kontekstual sesuai kehidupan sekitar. Jadilah soal cerita matematika yg HOTS. Anak tak bisa 'OK google'
BalasHapusKeren Bu Guru👍 saya juga sedang belajar mencintai matematika 😁
BalasHapusTerimakasih dengan kunjungannya. Maaf mbka inama, ini aq blm jd guru. Msh tentor biasa. Hehehe😊
BalasHapusPendekatan kontekstual membantu peserta didik memahami materi tertentu. Mantab catatannya.
BalasHapusTerimakasih Bu Nur🙏
BalasHapus