Semua Adalah Jenius

       Anak adalah titip dari Allah untuk orang tua. Anak memiliki segudang kemampuan yang masing-masing tidaklah sama. Walaupun anak tersebut masih ada hubungan saudara kandung, tetapi potensi mereke tentulah berbeda. Sayangnya, bagi orang tua yang tak memahami perbedaan ini, selalu membandingkan anak yang satu dengan lainnya. Justru kata-kata membandingkan ini akan menjatuhkan jati diri Sang Anak.
        Kemarin, saya diskusi dengan seorang tetangga. Dia masih remaja, umurnya sekitar 24 tahun. Ya, 5 tahun lebih muda dari saya. Dia adalah seorang laki-laki yang memiliki postur tubuh tinggi. Diskusi ini adalah terkait publish jurnal. Dia sudah memiliki pengalaman publish jurnal di scopus. Wah, prestasi yang luar biasa menurut saya. Karena ditinjau dari jenjang pendidikan yang masih pada level S1, dia sudah menorehkan karyanya di kancah Internasional. Saya yang sudah akan lulus S2, masih belum pernah publis jurnal. Bahkan sekedar lingkup regional. Saya akui, pengalamannya jauh lebih luas daripada saya.
        Dia memberikan saya beberapa arahan agar bisa publis di Sinta. Tuturannya sangat sistematis, sehingga saya mengerti apa yang dibicarakan. Dia sangat sopan dan rendah diri. Padahal dia lebih pintar dari saya. Saat ini dia berkecimpung di dunia literasi yaitu penulisan artikel, penelitian, dan membuat organisasi yang bernuansa literasi. Selain itu, dia adalah seorang blogger. Sungguh saya salut dengannya. Masih muda, tapi kompetensinya tidak bisa diragukan lagi.
          Sejenak saya bernostalgia dengan masa lalunya. Teringat dulu waktu dia masuk jenjang Sekolah Dasar, gurunya mengeluhkan tingkahnya. Sering ramai waktu proses pembelajaran berlangsung, dan tergolong murid pada level di bawah rata-rata. Ketika dia kelas 2 SD, sempat dia tertinggal dengan teman-temannya. Sehingga dia harus mengulang untuk belajar di kelas 2 hingga menempuh waktu 2 tahun. Bahkan tetangga-tetangga di sekitar rumahnya mengatakan bahwa dia adalah anak yang bodoh.
          Namun setelah jangka waktu yang lama, anak tersebut bermetamorfosa menjadi sosok yang penuh dedikasi. Mungkin, jika anak teraebut berjumpa dengan guru SDnya, tentu guru tersebut akan takjub dengan perubahannya saat ini.
          Tentunya, jika diulas satu persatu tentang potensi anak, halaman blog ini akan tidak muat untuk mewadahi tulisan ini. Kalaupun muat, jari jemari saya pasti akan bermasalah. Berdasarkan cuplikan tersebut, kita sebagai orang tua atau guru tidak boleh merendahkan anak untuk hal yang tidak bisa dilakukan oleh anak. Anak memiliki potensi yang luar biasa jika kita mampu untuk membantu mengembangkan potensi itu. 
          Jika anak tidak bisa mengerjakan soal matematika atau menyebutkan ciri-ciri hewan mamalia, mungkin anak itu dominan dengan salah satu gaya belajar. Dimana untuk mempelajari materi tersebut, anak harus melakukan aktivitas belajar sesuai dengan karakteristik gaya belajarnya. Yang mana kebutuhan tersebut tak terpenuhi pada proses pembelajaran. Dan anehnya, guru langsung mengatakan bahwa anak itu bodoh. Selain itu, ditambah lagi dengan membandingkan anak itu dengan anak yang lebih pintar. Kasus-kasus seperti ini masih kita jumpai pada praktek pembelajaran.
         Tentunya sebagai guru harus memahami akan beranekaragaman potensi yang dimiliki oleh peserta didik. Disamping itu, dalam mengemas suatu materi, lebih menonjolkan kebermanfaatan pada dunia nyata siswa. Sehingga siswa dapat merasakan kebermanfaatan mempelajari materi tersebut. Selain itu dapat meningkatkan motivasi belajar anak.

Komentar

  1. Apresiasi untuk semua guru yang berjuang menyiapkan generasi bagi masa depan bangsa ini. Tulisan yang menarik.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Pembelajaran Daring Berbantuan LKS Berbasis Tugas Proyek Dalam Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis"

Kolaborasi dengan Suami Saat Weekend

Belajar Matematika: Melalui Praktek dan Implementasi