Hubungan Belajar Matematika dengan Budaya Literasi
Matematika adalah salah satu pelajaran yang tidak disukai oleh mayoritas siswa. Karena matematika terikat oleh aturan yang bersifat kaku. Tidak bisa diparafsekan dengan dalil lain yang mengakibatkan kesalahan arti, makna, maupun definisi. Tentunya kita dalam mempelajarinya harus mengikuti sejumlah aturan-aturan. Setiap kali kita membaca materi matematika, pasti yang terngiang dalam memori ini adalah angka, simbol, definisi, dan rumus-rumus yang begitu banyaknya. Bahkan setiap kita mempelajari pada setiap indikator, tak jarang kita berjumpa dengan definisi dan rumus yang berbeda dari masing-masing indikator. Dimana rangkaian indikator tersebut berjalin seperti saudara kandung saja. Ada keterikatan antara indikator 1 dengan indikator lainnya. Sehingga dibenarkan bahwa jika seseorang belum bisa mempelajari materi prasyarat A, maka dia akan kesulitan dalam mempelajari materi A. Tak heran banyak anak-anak yang kesulitan dalam mempelajarinya.
Ketika saya mengajar di suatu Bimbel, terlihat anak-anak menunjukkan raut wajah negatif yang di bawa dari rumah. Saya tahu dengan situasi ini, saya dihadapkan oleh audien yang memiliki muatan berseberangan dengan saya. Ok, bagiku tidaklah masalah yang terpenting saya harus membawa mereka pada suasana yang nyaman. Agar mereka dapat belajar dengan baik dan benar. Saat saya menerangkan materi, selanjutnya saya berikan soal dan contoh pembahasan, anak-anak memperhatikan apa yang yang saya ucapkan dan tuliskan. Segala tingkah saya, tak luput dari pandangan dua bola mata dan dua telinga dari seluruh siswa yang duduk di kursi lipatnya. Saya harus berhati-hati dengan segala apa yang yang terucap dan tertulis. Karena matematika adalah bahasa simbol yang memiliki aturan kaku. Sehingga ketika ada kesalahan dalam mengucapkan simbol atau aturan, maka akan berakibat fatal dan berindikasi terhadap miskonsepsi pada siswa.
Saya sering menanyakan hal yang kurang dipahami kepada siswa, yaitu setiap selesai menerangkan materi dan memberikan contoh penyelesaian soal-soal latihan. Ya, memang beginilah sistem pembelajaran di Bimbel. Memberikan sedikit penjelasan materi dan memperbanyak pemberian contoh penyelesaian soal-soal. Tujuannya adalah agar anak-anak mampu mengerjakan soal-soal matematika dari model-model yang berbeda-beda. Anak-anak selalu menanyakan kepada saya jika mereka belum mengerti. Tentunya tidak hanya bermodalkan bahasa lisan saja, tetapi saya harus menggunakan bahasa tulisan. Karena tulisan merupakan bentuk dari representasi pemikiran seseorang. Sedangkan matematika merupakan bahasa simbol. Maka saya harus menggunakan tulisan dalam menuangkan ide matematika kepada anak-anak.
Bahkan untuk mengetahui anak-anak paham atau tidak tentang materi yang telah dipelajari, tentunya seorang guru tidak hanya memperhatikan seegala apa yang diutarakan oleh siswa terkait ide matematikanya, tetapi lebih mengarah pada apa yang ditulis oleh seorang siswa. Biasanya tulisan ini dapat ditunjukkan ketika siswa mengerjakan soal-soal matematika. Hal ini sesuai dengan pengalaman saya ketika mengajar di bimbel. Pernah suatu hari ada anak yang mengatakan bahwa dia paham dengan materi yang saya terangkan. Kemudian saya mencoba menanyakan tentang suatu permasalahan matematika, tetapi diapun menjawabnya dengan bahasa lisan. Sepintas, apa yang diucapkan memanglah benar. Saya mencoba memberikan soal-soal latihan. Kemudian saya suruh mereka untuk mengumpulkan pekerjaannya kepada saya. Alhasil bahasa lisan yang telah diutarakan oleh anak tersebut tidak sejalan dengan bahasa tulisan. Dan saya menilai dia belum memahami materi yang dipelajarinya. Dia belum mampu untuk menguraikan penyelesaian matematika secara benar walaupun sudah mengarah pada apa yang ingin dia cari. Tetapi model algoritma penyelesaiannya masih bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Berdasarkan paparan di atas, belajar matematika merupakan suatu stimulus untuk membudayakan seorang anak berliterasi. Yaitu menuliskan idea tau gagasannya melalui bahasa simbol. Melalui penyelesaian soal-soal matematika, anak-anak telah menggunakan pengetahuan yang telah dipelajari sebelumnya dan menghubungkan dengan pengetahuan baru, kemudian dirangkai dalam bentuk tulisan simbol-simbol matematika. Hal ini senada dengan dunia literasi yaitu menuangkan suatu pemikiran dalam bentuk tulisan. Dimana pemikiran tersebut merupakan adopsi dari pengetahuan lama yang dihubungkan dengan pengetahuan baru. Sehingga terciptalah kalimat, paragraf, dan karya.
Belajar matematika bagian dari mengembangkan budaya literasi. Karena kita harus menuangkan sejumlah tulisan untuk menuangkan pemikiran atau ide penyelesaian matematika untuk memperoleh solusi penyelesaian. Mulai dari membayangkan masalah, kemudian dituliskan dalam bentuk bahasa simbol, lalu dikomunikasikan kepada guru atau teman. Melalui tulisan itu, para responden dapat memahami idemu dalam menyelesaikan soal tersebut. Tentunya belajar matematika tidak hanya dimaknai hanya sekedar menyelesaikan soal-soal latihan. Tetapi proses menuangkan ide tau gagasan seseorang dalam menyelesaikan permasalahan yang dituangkan dalam bentuk tulisan simbol. Kalaupun kita sebagai seorang guru menjumpai anak-anak belum bisa menyelesaikan soal-soal latihan, janganlah memberikan label kepada Sianak bahwa dia “gak mampu atau bodoh”, tetapi cobalah kalian lihat apa yang ditulis oleh anak tersebut. Dari tulisan anak itu, kita bisa menganalisa bagian apa yang belum dikuasai oleh siswa.
Tentunya belajar matematika mengajak kita untuk mengembangkan budaya literasi. Yaitu menuliskan ide-ide berupa bahasa symbol yang dituliskan secara sistematis.Belajar matematika harus diwarnai dengan tulisan-tulisan. Kalaupun saat ini sudah ada teknologi yang mampu menyelesaikan soal-soal latihan secara cepat dan benar, tetapi janganlah kecanggihan itu merusak keindahan tulisan-tulisan simbol yang terangkai secara sistematis. Dimana tulisan-tulisan itu merupakan buah pemikiran seseorang dari proses pengontruksi yang telah dilaluinya. Tentunya kecanggihan teknologi ini, jika tidak dimanfaatkan secara bijak akan menjerumuskan anak-anak pada budaya instan. Anak-anak tidak lagi mengandalkan proses penyelesaian dengan tulisan, tetapi lebih pada mencari jalan pintas. Maka peran guru sangatlah essensial dalam menyeimbangkan antara penggunaan teknologi dan pengembangan literasi anak melalui rangkaian penyelesaian yang dituliskan oleh anak.
Komentar
Posting Komentar